Minggu, 22 Maret 2020

Yuk, Jaga Diri dan Orang Lain

10.11
Pic from microbiologysociety.org

"Uhuk... uhuk...!"

Satu orang di sebelah rak susu mulai batuk-batuk.

"Uhuk... uhuk... uhuk!"

Orang di sebelah rak makanan instan batuk lebih keras.

"Huek...!"

Ya Allah, seseorang tak jauh dari meja kasir batuk darah.

Maka kacaulah keadaan di supermarket itu. Situasi yang tadinya hiruk pikuk karena orang berebut ingin membeli bahan makanan, semakin tidak terkendali.

Semua berebut ingin keluar. Sayang, di pintu keluar tentara sudah menghadang. Tidak ada yang boleh keluar dari sana. Banyak yang melawan, tetapi moncong senapan sudah menghadang.

Pintu besi perlahan mulai turun. Tanda supermaket akan ditutup total dengan ratusan orang terkunci di dalamnya. Orang-orang ribut, suasana mencekam. Wanita dan anak-anak menangis ketakutan. Tidak sedikit yang berusaha menjebol pintu. Namun sia-sia.
Kondisi di luar supermarket lebih kacau. Orang-orang berjatuhan di jalan. Kendaraan saling bertabrakan. Kota mulai diisolasi. Tidak ada yang boleh keluar. Militer pun berjaga dengan ketat.

Apakah ini nyata? Tenang, ini hanya sekelumit kisah dalam film The Flu produksi Korea Selatan. Kisah tentang wabah yang menular dalam hitungan detik, dari satu orang ke ribuan lainnya.

Saat terjadi wabah seperti kali ini, apa yang diserukan pemerintah dan ulama harus diikuti. Isolasi diri akan menghindarkan wabah meluas.

Kita tidak tahu, siapa saja yang membawa virus dalam tubuhnya. Mereka berkeliaran di jalan, bertemu banyak orang, menyapa, tanpa tahu dirinya mengandung virus.

Ini yang berbahaya. Saat diri tidak menunjukkan gejala awal, tetapi virus sudah berkembang. Pembawa hanya menunggu gejala awal timbul. Tapi penularan lewat pembawa sudah tidak terhitung.

Jadi, kenapa masih ngotot untuk berkeliaran di luar rumah. Beraktivitas dalam rumah, menjaga daya tahan tubuh kita dan orang lain. Bukankah menghindari kerusakan yang lebih masif lebih utama?

#dirumahaja
#isolasidiri
#aktivitasdirumah

Bogor, 22 Maret 2020
@yanidasikun

Minggu, 15 Maret 2020

Mencita-citakan Kematian

22.09
Kematian, sudah seberapa siap jika ia menghampiri. Rasanya jika ditanya sudah siapkah jika Allah memanggil saat ini, jiwa akan merunduk lesu. Kalau bisa, orang lain saja dulu.

Kematian akan datang pada setiap makhluk yang bernyawa. Ingin bersembunyi dalam lubang gelap, tapi tetap saja kematian datang menyapa.

Jika sudah tahu, alangkah lebih baik kita mencita-citakan kematian kita kelak adalah kematian yang baik. Agar kita bisa mempersiapkan diri, membuat rencana terbaik untuk akhir perjalanan di dunia.

Berbekallah dengan kebaikan bukan keburukan. Pastikan bekal itu bukan fatamorgana. Seakan berjuta kebaikan yang kita lakukan, ternyata tidak ada apa-apanya di hadapan Allah.

Apalagi jika bekal kita diberikan pada orang lain yang pernah kita sakiti. Bekal yang kita kumpulkan, dibagi hingga tak bersisa. Jadilah kita orang yang bangkrut karena bekal untuk kehidupan di kampung halaman tidak ada lagi. Maka jangan salah mengumpulkan bekal. Agar kehidupan di kampung halaman lebih bahagia. Jadilah orang yang cerdas dalam menunggu kematian.

Seperti kisah Abdullah ibnu Umar, dia pernah berkata, " Aku bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu seorang laki-laki Anshar datang kepada beliau, kemudian mengucapkan salam kepada beliau, lalu dia berkata, 'Wahai Rasulullah, manakah di antara kaum mukminin yang paling utama?' Beliau menjawab, 'Yang paling baik akhlaknya di antara mereka.' Dia berkata lagi, 'Manakah di antara kaum mukminin yang paling cerdas?' Beliau menjawab, 'Yang paling banyak mengingat kematian di antara mereka, dan yang paling baik persiapannya setelah kematian. Mereka itu orang-orang yang cerdas." (HR Ibnu Majah).


#30DWCJilid22
#Day29

Sabtu, 14 Maret 2020

Sang Pengembara

21.48
"Mengarungi samudera kehidupan
Kita ibarat para pengembara
Hidup ini adalah perjuangan
Tiada masa tuk berpangku tangan"

Begitulah cuplikan syair lagu Bingkai Kehidupan yang dinyanyikan grup nasyid Shoutul Harokah. Kita memang hanya pengembara,yang sekadar mengembara mencari makna hidup. Semua pengembara akan mencari bekal yang akan menemani selama perjalanan. Perjalanan panjang menuju kampung halaman.

Selama perjalanan ada kalanya ditimpa badai berpanjangan. Ada kalanya hanya bertemu kerikil kecil. Namun, untuk sampai di ujung perjalanan semua itu harus dilalui.

Tawa dan tangis. Sehat dan sakit. Bahagia dan sedih. Berhasil dan gagal. Hidup dan mati. Kesemuanya Allah yang menciptakan. Apakah pengembara bisa menolaknya? Tidak ada yang bisa menghindarinya kecuali memohon pertolongan-Nya, agar dikuatkan dalam menjalaninya.

Pasang surut kehidupan tidak pernah berhenti. Terus berputar seiring waktu hingga tiba masanya perjalanan Sang Pengembara berhenti. Cukup atau tidak bekal yang dikumpulkan, ketika Penguasa Alam telah memutuskan maka ia harus berhenti.

Kehidupan hanya mengumpulkan bekal. Bekal kebaikan bagi sesama makhluk hidup yang akan dipertanggungjawabkan kelak. Pengembara tidak tahu, mana bekal yang akan menyelamatkannya kelak.

Dia pun tidak tahu, masa depan apa yang akan menimpanya. Pengembara hanya berikhtiar mempersiapkan dirinya. Mengukir jejak amal baik hari demi hari. Bagi dirinya, orang tua, lingkungan, dan agama.

Hidup hanya saat ini. Hari kemarin, telah berlalu, yang memberi pelajaran berharga. Esok belum tentu ada. Hari ini, di waktu ini, itulah kehidupan sebenarnya. Isilah dengan hal manfaat dan menyelamatkan di masa depan. Hal-hal baik yang diridai Sang Khalik, yang akan menutup akhir perjalanan sebagai bekal ke kampung akhirat.

#30DWCJid22
#Day28

Jumat, 13 Maret 2020

Penantian

21.35
"Buuu... kucingnya sudah lahiran," Elsa berteriak memanggil ibunya. Terlihat tiga bayi kucing yang mungil dan menggemaskan. Masih rapuh untuk dipegang. Induk kucing hanya mendengkur melihat kedatangan Elsa dan ibunya.

Itu hanya sekelumit cerita yang sering dialami makhluk hidup. Kelahiran memang sesuatu yang ditunggu. Kebahagiaan akan kehadiran anggota baru seperti aroma musim semi setelah dingin berlalu. Penuh dengan cerita.

Keahiran adalah satu fase kehidupan, sebelum proses tumbuh dan berkembang. Untuk melestarikan generasi, menghindari kepunahan. Apa jadinya jika makhluk hidup tidak diberi karunia melahirkan? Bumi akan kosong. Yang menua akan tiada, bumi gersang tak ada kehidupan.

Semua adalah keseimbangan. Allah yang menjaga kelestarian makhluk. Allah pula yang kelak akan mematikan. Kita sebagai makhluk hanya menjalani yang telah ditetapkan.

Memang tidak semua dapat melahirkan generasi berikutnya. Itu semua adalah kehendak-Nya. Sebagai hamba tidak boleh menyalahkan keadaan. Tidak boleh mencari-cari kelemahan. Tidak pantas pula menyalahkan Sang Pencipta.

Apa yang kita inginkan, belum tentu diberi oleh Allah. Dia hanya memberi apa yang kita butuhkan. Keinginan kita sangat banyak. Bahkan keinginan yang tidak kita perlukan pun kita minta. Tetapi Allah Mahatahu keperluan kita. Karenanya hanya itulah yang diberikan.

"Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."
Quran surat Al Baqarah ayat 216.

Keinginan kita bisa jadi tidak semua berakhir baik. Mungkin kelak ketika kita diberi apa yang diinginkan, kita malah menjadi orang yang sombong. Orang yang lupa dengan semua nikmat. Karenanya menerima dengan ikhlas pemberian, tentu lebih melapangkan hati.

Allah saja yang mengetahui kejadian di masa depan. Allah yang menakdirkan kelahiran. Sehingga ketika belum diberi, hanya kesabaran dan ikhtiar yang diminta. Sabar yang tidak berbatas. Sabar seluas langit dan bumi.

#Day27

Kamis, 12 Maret 2020

Aku Tidak Tahu Judulnya

22.08
Hatiku, kenapa kosong ya? Apalagi pikiranku. Sedari siang membuat tulisan nggak selesai. Baru setengah jalan, berhenti. Selain kehabisan kata, tulisan pun nggak asyik dibaca.

Ada apa dengan hatiku?

Gelisah sepanjang hari. Mencoba membaca apa yang ada di sekelilingku. Ternyata tetap nggak membantu. Ide datang silih berganti, tapi bingung merangkainya jadi tulisan. Akhirnya hanya menonton youtube. Berusaha mendapatkan semangat, mendapatkan ide segar dan terutama agar hati nggak kosong.

Tapi hasilnya malah tambah galau. Hati makin ciut karena di penghujung zaman, bekal yang dikumpulkan masih sangat sedikit.

Bagaimana mau menghadapi huru hara akhir zaman, mengatasi hura hara hati saja aku sibuk setengah mati. Mengumpulkan bekal selalu bilang nanti. Padahal hari-hari akhir makin dekat.

Hatiku ciut, kecut, membayangkan kejadian yang akan terjadi. Saat terjadi kekacauan di sana sini. Tidak ada tempat untuk berlari dan sembunyi. Hanya yang diberi rahmat dan kasih sayang Allah yang selamat. Apakah aku termasuk di dalamnya?
Memikirkan anak dan keluarga yang jauh, akankah bersama dalam naungan kasih sayang-Nya.

Tapi jika saat itu tiba, masihkah ingat dengan sanak saudara? Bukankah yang dulu dekat dan sangat dikasihi, akan ditinggal jauh. Tidak lagi ada dalam pikiran. Bahkan kalau bisa, menyelamatkan diri sendiri. Hura hara yang menggentarkan hatiku.

Membuat aku tidak bisa memikirkan apapun kecuali hanya Allah. Kecuali hanya memohon ampunan. Memohon agar Allah memaafkan segala dosa dan kesalahan. Memafkan atas hati yang masih lalai. 

Hanya keresahan yang bisa kutulis hari ini. Judulnya pun aku tidak tahu. Aku hanya merasa, hatiku sedikit terobati dengan menuangkan semua resah. Allah pun tahu apa yang terjadi dengan hatiku dan semoga Ia memberi ketenangan padanya.


#30DWCJilid22    #Day26     #hatiyangresah